Kamis, 18 November 2010

CATATAN KULIAH PERTEMUAN KE-9


CATATAN KULIAH PERTEMUAN KE-9

MAZHAB SEJARAH

Mazhab Sejarah lahir pada awal abad ke-19, yaitu pada tahun 1814. Lahirnya mazhab ini ditandai dengan diterbitkannya manuskrip yang ditulis oleh Friedrich Karl von Savigny yang berjudul “Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft” (tentang seruan masa kini akan undang-undang dan ilmu hukum) . Friedrich Karl von Savigny dipandang sebagai perintis lahirnya mazhab Sejarah .

Kelahiran mazhab yang dirintis oleh Savigny ini dipengaruhi oleh buku yang berjudul “L’ esprit des Lois” (Semangat Hukum) karangan Montesquieu (1689-1755) yang terbit pada tahun 1748. Dalam buku tersebut, Montesquieu mengemukakan bahwa ada relasi yang kuat antara jiwa suatu bangsa dengan hukum yang dianutnya . Hukum yang diperpegangi dan dianut suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh jiwa bangsa yang direpresentasikan oleh nilai-nilai dan tatanan sosial yang ada. Nilai dan tatanan demikian bersifat dinamis, sehingga berimplikasi pada dinamisnya hukum. Dengan lain perkataan, dinamisasi nilai-nilai dan tatanan sosial menyebabkan dinamisasi pada hukum yang diperpegangi masyarakat.

Selain itu, kelahiran mazhab Sejarah juga dilatari oleh paham nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Semboyan “Deutsch uber alles” mengekspresikan tingginya nasionalisme masyarakat Jerman yang sekaligus menjadi antitesa dari konsep Thibaut yang menyerukan kodifikasi hukum Jerman dalam perundang-undangan dengan patron kodifikasi hukum Prancis (Code Napoleon) . Seruan Thibaut tersebut menurut Savigny sangat tidak sejalan dengan jiwa rakyat (volksgeist) Jerman karena sejatinya, jiwa rakyat Jerman sangat berbeda dengan jiwa rakyat Prancis. Inilah yang kemudian mendorong Savigny untuk mengembangkan ajarannya tentang hukum, yaitu “Das recht wird nicht gemacht, est is und wird mit dem volke” (hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Karena itu, menurut Savigny, masing-masing bangsa memiliki jiwa (volksgeist) yang berbeda, sehingga hukum masing-masing bangsa juga berbeda. Implikasinya, tidak ada hukum yang berlaku secara universal dan substansi hukum sangat ditentukan oleh pergaulan hidup dan pergeseran tata nilai yang ada di masyarakat .
Pandangan Mazhab Sejarah tentang Hukum
Mazhab sejarah memandang bahwa hukum hanya dapat dipahami dengan menelaah kerangka atau struktur kesejarahan (historisitas) dimana hukum tersebut timbul . Hukum merupakan tatanan yang lahir dari pergaulan masyarakat, di dalamnya tercakup nilai-nilai dan tatanan yang terbentuk secara alamiah dan senantiasa mengalami dinamisasi seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat tersebut.
Friedrich Karl von Savigny, sebagai perintis mazhab ini mengemukakan bahwa hukum merupakan representasi kesadaran hukum masyarakat (voklgeist) . Hukum, sejatinya berasal dari adat-istiadat, sejumlah keyakinan atau kepercayaan dan bukan berasal dari pembuat undang-undang (legislator). Pandangan Savigny ini dilatari oleh sikap kontra produktifnya terhadap kodifikasi hukum perdata Jerman yang menjadikan hukum Prancis (Code Napoleon) sebagai patron. Padahal, menurutnya, kodifikasi tersebut sangat sering bertentangan, bahkan secara diametral, dengan semangat dan jiwa (kesadaran hukum) masyarakat Jerman. Inilah yang kemudian menjadikan Savigny berpikir bahwa hukum bukan berasal dari pembuat undang-undang, melainkan berasal dari jiwa rakyat yang luhur dan dinamis .

Savigny berangkat dari satu keyakinan bahwa masing-masing bangsa memiliki jiwa (volksgeist) yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terlihat dari perbedaan kebudayaan masing-masing bangsa, baik dari segi kooptasi nilai-nilai maupun perwujudannya semisal bentuk pergaulan, etika pergaulan, dan sebagainya. Ekspresi perbedaan tersebut juga tampak pada eksistensi hukum suatu bangsa yang bersifat temporal dan spasial. Masing-masing bangsa memiliki tatanan hukumnmya sendiri, dan berbeda secara substantif dengan hukum yang dimiliki bangsa lain .
Substansi ajaran mazhab Sejarah dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hukum tidak dibuat melainkan ditemukan
Hukum sejatinya bukan sesuatu yang dengan sengaja dibuat oleh pembuat hukum. Hukum pada dasarnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Karenanya, hukum bersifat organis . Hukum tidak dengan sengaja disusun oleh pembentuk hukum . Hukum akan senantiasa berkembang dan menyesuaikan dengan perubahan sosial. Proses demikian merupakan proses yang alami atau tidak disadari karena menjadi bagian internal dalam lingkup pergaulan masyarakat.
2. Undang-undang tidak berlaku secara universal
Undang-undang, sebagai dianggap representasi hukum suatu bangsa bersifat temporal dan spasial. Undang-undang hanya berlaku di suatu bangsa atau kelompok bangsa tertentu (semisal persekutuan) dan pada kurun waktu tertentu. Oleh Savigny, setiap bangsa dipandang mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa, adat-istiadat, dan konstitusi yang khas . Curzon mengemukakan:
“Law is a special product of people’s genius. Like language, it evolves gradually and embodies a people; it dies away when a people loses its individuality...Law have no universal validity; the apply solely to the nations in which they are created”

“Hukum merupakan produk khusus dari sekelompok masyarakat. Seperti bahasa, hukum berkembang secara bertahap dan merupakan representasi dari masyarakat; hukum itu lenyap seiring dengan hilangnya identitas masyarakat (punahnya masyarakat)...Hukum tidak berlaku secara universal; penerapannya terbatas pada bangsa dimana hukum itu dibuat”.

Dalam konteks Indonesia misalnya, undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif dengan eksekutif tidak dapat diberlakukan secara universal ke bangsa lain. Undang-undang tersebut hanya berlaku di Indonesia sendiri. Selain itu, undang-undang tersebut memiliki batas berlaku (temporal) karena substansinya tidak sesuai lagi dengan keinginan dan/atau kesadaran hukum masyarakat. Karenanya, amandemen perundang-undangan menjadi keniscayaan agar perundang-undangan tidak berseberangan dengan jiwa rakyat (volksgeist).
3. Hukum merupakan perwujudan dari jiwa rakyat atau kesadaran hukum masyarakat (volksgeist)
Savigny, sebagai dikutip Achmad Ali dari Curzon , mengemukakan:
“...there was an organic connection between law and people’s nature and character as developed through history. The true living law is customary law; it does not emerge from the arbitrary will od a law-giver, but from internal, silently operating forces within the community. Law is rooted in a people’s history; the roots are fed by the coneciounsness, the faith and customs of the people”.

“...terdapat hubungan yang organis (dinamis) antara hukum dengan kehidupan dan karakter masyarakat sebagai tumbuh dan berkembang dalam sejarah kehidupan masyarakat tersebut. Hukum yang hidup adalah hukum adat; hukum tersebut tidak dihasilkan oleh pembuat hukum (legislator) melainkan dari masyarakat itu sendiri, ditegakkan oleh masyarakat itu pula. Hukum berakar dalam sejarah masyarakat, dibangun atas dasar kesadaran penuh, keyakinan, dan adat istiadat yang dianut masyarakat. ”
G. Puchta, salah seorang murid Savigny mengemukakan bahwa semua hukum merupakan perwujudan dari kesadaran umum masyarakat (volksgeist) . Lebih lanjut, Puchta, sebagai dikutip oleh Satjipto Rahardjo dari Dias, mengemukakan:

“Hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan dan menjadi kuat bersama-sama dengan kekuatan dari rakyat dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa itu kehilangan kebangsaannya.”

Savigny menolak supremasi akal dalam pembuatan undang-undang. Secara tegas, dia menolak paradigma bahwa hukum itu dibuat, dan secara diametral dia menyatakan bahwa hukum itu ditemukan di masyarakat. Hukum ada di masyarakat, dan karenanya pembuatan undang-undang tidak begitu penting. Inilah yang oleh sebagian ahli dipandang sebagai pesimisme hukum, karena menolak upaya luhur manusia untuk menciptakan hukum yang akan mengarahkan manusia ke masa depan yang lebih baik, masa depan yang berlandaskan pada keadilan .
REFLEKSI :
Mazhab Sejarah lahir pada awal abad ke-19, yaitu pada tahun 1814. Mazhab ini dipelopori oleh Friedrich Karl von Savigny melalui suatu manuskrip yang berjudul “Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft” (tentang seruan masa kini akan undang-undang dan ilmu hukum). Kelahiran mazhab Sejarah ini dilatari oleh dua faktor, yaitu buku yang ditulis oleh Montesquieu yang berjudul “L’ esprit des Lois” dan samangat nasionalisme pada abad ke-19. Sebagai pelopor, Savigny mengkritisi usulan Thibaut yang menganjurkan kodifikasi hukum perdata Jerman dengan mengacu pada Code Napoleon Prancis.
  1. Mazhab Sejarah melihat hukum sebagai entitas yang organis-dinamis. Hukum bagi mazhab ini, dipandang sebagai sesuatu yang natural, tidak dibuat, melainkan hidup dan berkembang bersama masyarakat. Hukum bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis karena akan senantiasa berubah seiring dengan perubahan tata nilai di masyarakat. Hukum bersumber dari jiwa rakyat (volksgeist) dan karenanya undang-undang tidak begitu penting.

0 comments:

Posting Komentar