Kamis, 07 Oktober 2010

CATATAN KULIAH PERTEMUAN KE-6

CATATAN KULIAH PERTEMUAN KE-6

Aliran Hukum Kodrat
  1. Latar Belakang Sejarah
    • Dirintis pada masa Yunani Kuno
    • Dipertanyakan oleh Cicero, dianalisis oleh Thomas Aquinas dan diibela oleh kalangan rohaniawan Gereja Katolik (moralitas = hukum agama; di luar itu [Gereja] tidak ada keselamatan  (ultra Ecclesiam nulla salus)*
    • Dianggap berguna sebagai sumber memahami:
o   prinsip-prinsip hukum internasional
- penafsiran konstitusi (terutama oleh hakim-hakim di AS).
1. Natural law usually consists of one or several generalized, but nevertheless essentially concrete, moral or legal ‘values’ or ‘value judgments’
• Satu atau beberapa nilai moral/hukum atau pertimbangan moral
• umum-konkret.
HUKUM - MORAL
2. These ‘value judgments’are, in accordance with their ‘absolute source’ – ‘Nature’ Revelation (God), or Reason –universally valid and immutable.
• Dua sumber pertimbangan moral:
(a) wahyu Tuhan,
(b) Rasio.
• Berlaku universal.
        • kekal (abadi).
3. They are within the reach of human reason properly employed and, therefore, the objects of ratiocination.
4. Once perceived in their absoluteness and ‘pure rationality’ they overrule every form of Positive Law.
• Dapat dijangkau rasio manusia.
• Menjadi objek penelaahan rasio.
• Jika hukum positif bertentangan dengan moralitas] hukum positif itu dikesampingkan
B. Hakikat hukum:
  • Hukum adalah nilai-nilai yang berlaku universal dan abadi.
  • Bersifat self-evidence.
  • Logika deduktif -> intuitif
  • propter veritatem et justitiam (demi kebenaran dan keadilan)
Ø  Sesuatu menjadi adil dan benar karena diperintahkan Tuhan.→ Wahyu → TUHAN →asas keadilan
Ø  Sesuatu memang sudah adil dan benar kerena itu Tuhan memerintahkannya -> Rasio -> MANUSIA -> asas kebenaran
  • Keadilan substantif (justice)
  • Keadilan procedural (fairness)
  • Dalam dunia Kristiani, aliran ini diadopsi oleh pemikir utama: St. Agustinus (354-430).
  • Ilmu pertama adalah mengenal Tuhan METAFISIKA.
  • Metafisika adalah filsafat pertama (prima philosophia)
  • filsafat menjadi hamba teologi (ancilla theologiae)
  • Tuhan memiliki rencana, yang dituangkan dalam hukumnya yang abadi LEX AETERNA.
  • Rencana abadi Tuhan itu terdapat juga dalam jiwa manusia, sehingga
manusia mampu memahaminya sbg hukum kodrat  LEX NATURALIS.
  • Prinsip tertinggi hukum kodrat:
Jangan berbuat pada orang lain apa yang tidak ingin orang lain berbuat padamu.
Ne aliguid faciat quisque alteri, quod pati ipse non vult.
Jadi, hukum buatan manusia harus bermoral…
An unjust law is no law
Ada beberapa versi :
Versi 1: Traditional Version
Tokoh : Thomas Aquinas (diperkuat: John Finnis)
Hukum Positif wajib sejalan dengan moralitas.
Jika tidak:
• Hukum Positif itu tidak sah (invalid)
• Aturannya batal demi hukum (null and void)
• Tak ada beban kewajiban bagi siapapun.
Contoh dari Aquinas:
Validitas dari “unjust law” = “validitas” uang palsu
  • Metode berpikir Aquinas hanya mungkin jika diasumsikan:
  1. Tuhan ada (tak akan diterima bagi pemikir ateis/sekuler);
  2.  penguasa politik memang selalu mengabdi demi kepentingan terbaik bagi rakyatnya;
  3. semua manusia di muka bumi ini mempunyai kesepakatan penafsiran atas segala sesuatu tentang baikburuk, salah-benar.
    • Sejarah menunjukkan banyak kasus bahwa hukum positif tidak selalu sejalan dengan moralitas, dan hukum itu tetap ditaati secara efektif.

  • Charles F. Petterson
    • Hukum Abadi (lex aeterna): hukum ini pengertiannya disetarakan dengan akal yang dipergunakan Tuhan dalam penciptaan alam semesta.
    • Hukum Kodrat (lex naturalis): “pantulan” akal ilahi yang terdapat dalam setiap ciptaan sebagaimana dimanifestasikan di dalam berbagai kecenderungan setiap ciptaan untuk mencari kebaikannya sendiri dan menghindari kejahatan.
    • Hukum Ilahi (lex divina): yaitu hukum yang diterima manusia melalui wahyu.
    • Hukum buatan manusia (lex humana): hukum yang diturunkan dari hukum ilahi dan memiliki ketentuan khusus yang sesuai dengan situasi konkret kehidupan manusia.
Versi 2 : INNER MORALITY
Tokoh : Lon Fuller (1902-1978)
  • Hukum Positif wajib sejalan dengan moralitas.
  • Jika tidak:
  • Ada aturan Hukum Positif yang tetap sah sepanjang tidak melanggar “inner morality of law” (inti moralitas hukum).
  • ‘Illat (sifat hakiki sebagai sumber keberlakuan hukum)
  • Hak untuk hidup adalah contoh inti moralitas hukum yang tak boleh dilanggar (misal oleh Nazi).
  • Menurut Fuller:
    • Sistem hukum harus memiliki “inner morality” agar dapat ditaati.
    • Prinsip moral ini menunjukkan sisi “genuine” dari sistem hukum.
    • Prinsip moral ini membebani kewajiban “prima facie” agar hukum ditaati (prima facie obligation; a duty of fidelity to the law) (principles of legality)
    • prinsip moralitas yang harus ada dalam hukum (principles of legality) versi Fuller:
  1. The rules must be expressed in general term; (berupa aturan umum, tak boleh sekadar keputusan-keputusan ad hoc)
  2. The rules must be publicly promulgated; (aturan itu harus dipublikasikan kepada masyarakat luas)
  3. The rules must be prospective in effect;(aturan tak boleh berlaku surut)
  4. The rules must be expressed in understandable terms; (aturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti)
  5. The rules must be consistent with one another; (aturan-aturan itu tak boleh saling bertentangan)
  6. The rules must not require conduct beyond the powers of the affected parties; (aturan itu tak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan)
  7. The rules must not be changed so frequently that the subject cannot rely on them; (aturan tak boleh sering diubah-ubah)
  8. The rules must be administered in a manner consistent wiht their
wording. (harus ada kecocokan antara aturan yang diundangkan dengan
pelaksanaannya sehari-hari)
  • Prinsip-prinsip moral ini dimaksudkan Fuller terkait dengan HUKUM sebagai sistem hukum, bukan HUKUM individual. Pelanggaran sistem hukum terhadap salah satu saja dari 8
  • prinsip itu, tak layak disebut “sistem hukum”.
  • Manusia mempunyai kebebasan memilih baik-buruk (atas dasar inti moralitas hukum).
  • Inti moralitas hukum ini dapat ditetapkan/dikontrol oleh penguasa.
  • Inti moralitas hukum itu dijabarkan penguasa secara jelas, aplikatif, dan konsisten ke dalam aturan perundang-undangan sebagai bagian dari a genuine legal system-nya.
  • Itulah sebabnya UU harus selalu berlaku ke depan (prospectively), bukan berlaku surut (retroactively).
  • Manusia berkewajiban menaati UU demikian (a prima facie obligation).
  • Teori Fuller tidak secara spesifik terfokus pada validitas suatu aturan menurut ukuran moralitas pribadi individual, tetapi lebih kepada sistem hukum keseluruhan.
  • Tidak ada jaminan bahwa UU yang tidak dilandasi inner morality of law itu tidak berlaku efektif. Contoh: UU
  • Nuremberg yang efektif melarang perkawinan antara Yahudi dan orang berdarah Jerman.
Versi 3: Interpretive Version
  • Interpretivism is a school of thought in contemporary jurisprudence and philosophy of law. In the English speaking world, interpretivism is usually identified with Ronald Dworkin’s theses on the nature of law, but the word can also cover continental legal hermeneutics and authors such as Helmut Coing and Emilio Betti. Legal hermeneutics can be seen as a branch of philosophical hermeneutics, whose main authors are Heidegger and Gadamer.
  • In a wider sense, interpretivism could even include the theses of, in chronological order, Josef Esser, Theodor Viehweg, Chaïm Perelman, Wolfgang Fikentscher, Castanheira Neves, Friedrich Müller, Aulis Aarnio and Robert Alexy.
  • The main claims of interpretivism are:
Law is not a set of given data, conventions of physical facts, but what lawyers aim to construct or obtain in their practice. This marks a first difference between interpretivism and legal positivism.
There is no separation between law and morality, although there are differences. This is the opposite of the main claim of legal positivism.
Law is not immanent in nature or do legal values and principles exist independently and outside of the legal practice itself. This is the opposite of the main claim of natural law theory.
  • Tokoh : Ronald Dworkin
Hukum Positif wajib sejalan dengan moralitas.
Jika tidak:
• Akan kesulitan memberikan penafsiran (pertimbangan) moral yang tepat terhadap Hukum Positif itu.
• Jika tak dapat diberikan penafsiran moral, hukum positif itu... tidak sah (?) (Dworkin tidak memberikan penegasan)!
  • Dworkin menyatakan:
    • hukum tak sekadar kumpulan norma, tetapi suatu ekspresi falsafah pemerintahan (asas-asas moral terbaik);
    •  falsafah ini terutama memuat prinsip hubungan penguasa– rakyat (hak-hak konstitusional) yang dinyatakan eksplisit;
    • penafsiran hukum selalu menuntut pertimbangan moral.
Ø  Untuk mengetahui keberadaan asas moral terbaik itu:
  • lihat kecocokannya dengan aturan lain dalam sistem hukum itu (the idea of fit) logical consistency & the power to justify/help provide a rationale for the rule.
  • Mengingat abstraknya falsafah pemerintah ini, tetap sulit
membuat pertimbangan moral yang tepat diberikan)

REFLEKSI :
Menurut  Thomas Aquinas, Lon Fuller, Ronald Dworkin, Hukum Positif wajib sejalan dengan moralitas,dimana menurut
1.      Thomas aquinas Hukum Positif wajib sejalan dengan moralitas,Jika tidak Hukum Positif itu tidak sah (invalid),Aturannya batal demi hukum (null and void),Tak ada beban kewajiban bagi siapapun.
2.       Lon Fuller Hukum Positif wajib sejalan dengan moralitas.Jika tidak Ada aturan Hukum Positif yang tetap sah sepanjang tidak melanggar “inner morality of law” (inti moralitas hukum).‘Illat (sifat hakiki sebagai sumber keberlakuan hukum)  
3    Ronald Dworkin Hukum Positif wajib sejalan dengan moralitas.Jika tidak akan kesulitan memberikan penafsiran (pertimbangan) moral yang tepat terhadap Hukum Positif itu. Jika tak dapat diberikan penafsiran moral, hukum positif itu... tidak sah? (Dworkin tidak memberikan penegasan)

0 comments:

Posting Komentar