Selasa, 26 Oktober 2010

CATATAN KULIAH PERTEMUAN KE-7

TOPIK KULIAH KE 7 FILSAFAT


POSITIVISME HUKUM

1. Istilah “Positif”

Berarti:
kenyataan ( khayal)  objek kajian tunggal;
kepastian ( keraguan) keseimbangan logis;
ketepatan ( kekaburan)  kejelasan pengertian;
kemanfaatan ( sekadar rasa ingin tahu)  kemajuan;
keteraturan ( negatif)  penataan, penertiban.



Positivisme:

Aliran filsafat yang meyakini bahwa pengetahuan manusia bersifat objektif, yang diperoleh melalui penyelidikan empirik dan rasional.



2. 5 asumsi dasar Positivisme:

1. Logiko empirisme

Kebenaran = pembuktian lewat empiri.

2. Realitas objektif

Satu realitas saja! Subjek-objek terpisah (tiada tempat untuk interpretasi subjektif).

3. Reduksionisme

Setiap objek dapat diamati dalam satuan kecil. Jika tidak, itu bukan realitas (misal: Tuhan).

4. Determinisme

Keteraturan dunia karena hukum kausalitas yang linear. Dengan ilmu, dunia dapat dikendalikan!

5. Asumsi bebas nilai

Tak ada tempat untuk subjektivitas, sehingga nilai-nilai tak relevan. Ilmu selalu bebas nilai!

3. PENDAPAT PARA TOKOH :

a. August Comte

Epistemologi: Positivisme

1. Tahap Teologis (Fiktif)

Berserah pada kekuatan supranatural(animisme, politeisme)

2. Tahap Metafisis (Abstrak)

Siasati dgn pendekatan abstrak (agama, dll.) (monoteisme)

3. Tahap Positivis (Riil)

Atasi degan ilmu & teknologi(ateisme)



Dampaknya pada hukum

Positivisme Hukum:
Latin: ponere-posui-positus: “meletakkan” (salahbenar/ adil-tak adil bergantung hukum yang telah diletakkan).
Hukum adalah perintah manusia (penguasa)
Tak perlu ada kaitan antara hukum dan moral -> NETRAL.
Dimensi POSITIF dalam konteks positivisme hukum TIDAK terkait dengan sesuatu yang empiris (observable).
Jadi, sebenarnya lebih kepada positive judgments -> pemegangotoritas mengeluarkan perintah/putusan yang NETRAL,tidak terkait dengan moral (a-moral).
Sistem hukum = sistem logikal tertutup (putusan dideduksi dari norma hukum terberi).
Analisis hukum bersifat konseptual, bukan analisis sosiologis atau historis.
Jadi, analisisnya terpisahkan (insulated) dari dunia empiris. Untuk keperluan ini, positivisme hukum tidak merasa perlu menyimpan DATA EMPIRIS, melainkan cukup berupa PREPOSISI (premis) yang diturunkan dari norma positif dalam sistem perundangundangan.
Legal Positivisme :
Utilatarianisme -> Jeremy Bentham (The Will Theory)
Analitical Jurisrprudence -> John Austin (The Will Theory)
The pure norm -> Hans Kelsen (The Pure-Norm Theory)

b. John Austin (1790–1859)

ANALYTICAL JURISPRUDENCE

Apakah hukum itu?
Diinspirasi oleh Jeremy Bentham (utilitarianisme)
Hukum=sekumpulan tanda-tanda (signs) yang mencerminkan kehendak, yang disusun atau diadopsi oleh pemegang kekuasaan.
Hukum positif = ungkapan ttg aturan berkehendak (the expression of an act of wishing) -> The Will Theory of Law
Hukum = perintah penguasa (command of the sovereign)
Hukum positif = hukum yang dibuat oleh penguasa.
LAW = Wish Sanction Expression of wish Generality + a sovereign who initiates the command

Ø LAW = Hukum

Ø Wish = kehendak

Ø Sanction = sanksi

Ø Expression of wish = pemberlakuan kehendak yang bersanksi

Ø Generality = publikasi

Ø a sovereign who initiates the command =
Jika dikatakan:
Hukum positif = ungkapan ttg aturan berkehendak, Lalu, KEHENDAK siapa?
Kehendak penuh (full will), terdiri dari:
wills of: the current sovereign earlier sovereign subordinate powerholders any other group/individuals. -> KONSEP-KONSEP ini dianalisis mendalam: Analytical Jurisprudence -> Pendekatan: kehendak metafisis (constructive metaphor)
Perlu ada kesatuan kehendak (unity of will). Sebab, kesatuan dalam penerapan (unity of enforcement) mensyaratkan kesatuan kehendak (unity of will).


A complete law only be achieved through the cooperation of a sovereign legislators and one or more subordinates.
General Law (full will)
Completed by certain cases:
individual acts,
persons,
things.
A law is completely enacted only when the words constituting it are so precise that it may be applied merely with the help of a dictionary.



KLASIFIKASI HUKUM MENURUT AUSTIN
Hukum yang sebenarnya :
Hukum buatan Tuhan
Hukum buatan Manusia :

Ø Hukum Manusia yang dibuat bukan oleh penguasa politik -> Moralitas Positif

Ø Hukum Positif
Hukum yang bukan sebenarnya :
Hukum hasil analogi
Hukum hasil metafora (kiasan) -> Moralitas Positif



Apakah sumber hukum?
Sumber hukum (command of sovereign) = undang-undang.
Penafsiran  (terutama: gramatical).
Asas legalitas:
 Larangan retroaktif
Larangan analogi

Apakah tujuan hukum?
Kepastian hukum (legal certainty).
Pelanggaran hukum = pelanggaran hukum positif = pelanggaran atas seluruh kehendak (full will).



Terhadap Analytical Jurisprudence:
Analisis metafora-konstruktif itu sering mengabaikan kenyataan:
Kehendak penguasa tidak selalu sama dengan kehendak masyarakat di lapisan bawah.
Pembentuk undang-undang akan mengalami kesulitan untuk menyerap kehendak semua pihak, apalagi termasuk kehendak penguasa terdahulu.
Penguasa biasanya menetapkan apa yang benar/adil menurut kepentingan mereka, dan ini dilakukan atas nama hukum.
Jika undang-undang adalah sumber hukum satu-satunya, dan undang –undang ini mempunyai kelemahan, maka tidak ada lagi jalan untuk mengujinya (melalui sumber hukum yang lebih tinggi, seperti hukum kodrat).



The Pure Norm Theory

Apakah hukum itu?
Hukum harus dipisahkan dari moral. Hukum = what is (sein), moral = what ought to be (sollen).
Analisis hukum ditujukan pada analisis norma (perintah penguasa), bukan pada perilaku (real conduct).
Norma hukum -> norma yang murni (pure), yang dibersihkan (steril) dari analisis nonyuridis (moralitas,politis, sosiologis, historis, dsb.).
Norma terdiri dari: norma individual & norma dasar -> ciri Neokantianisme.

The Pure Norm Theory

1881-1973
Agent to make it concrete: Judicial power
Exercised by: Court/tribunal
Concrete applications of basic norm can be:
statutes,
judicial decisions,
contracts,
traffic-light,
warning on the wall, etc.



The dynamic creation of legal norms

Imputation

individual norms

|

Basic Norm



Apa sumber hukum?
Sumber hukum = norma yang lebih tinggi
Hukum terbentuk secara dinamis
Validitas norma harus diukur dari norma juga (bukan moral).
Karena norma berjenjang, maka ukuran validitas adalah norma yang lebih tinggi

-> Stufentheorie

Apa tujuan hukum?
Kepastian hukum.
Keadilan, kemanfaatan bukan persolaan ilmu hukum.



Komentar?
Mengartikan hukum secara steril adalah sekadar tindakan teoretisi hukum.
Sistem hukum positif tidak seluruhnya dibangun secara momentary (statis pada satu ruang/waktu), melainkan juga dinamis mengikuti perjalanan sejarah dan tradisi.
Kelsen tidak melihat dinamika tersebut. Dinamika yang ada berasal dari kreasi norma yang mengalir dari Grundnorm ke norma individual.
Sulit menetapkan Grundnorm (apa, siapa, bagaimana?), khususnya bagi masyarakat plural.



Beda antara Austin & Kelsen
Norm & Command
Austin: “Perintah” berasal dari ekspresi kehendak.
Kelsen: “Perintah” berasal dari karakter normatif (bersumber dari norma berjenjang).
Sanctions
Austin:

Ø sanksi esensial dalam hukum, melekat pada benak setiap subjek.

Ø Orang melaksanakan hukum karena takut pada sanksi.
Kelsen:

Ø sanksi esensial, tapi ia melekat pada norma.

Ø Penerapan sanksi adalah individualisasi dari norma itu.
Legal Dynamics
Austin: norma hukum dipandang sesuatu yang tidak dinamis.
Kelsen: norma hukum itu dinamis (membentuk jenjang).
Basic Norm
 Austin: Dasar dari keabsahan hukum adalah situasi faktual.
Kelsen: Dasar dari keabsahan hukum adalah norma dasar (Grundnorm) yang eksis secara hipotetis.



c. H.L.A. Hart
Hart menyoroti hukum yang terjadi pada masyarakat yang sederhana.

-> Saya menaati hukum karena memang berlaku di masyarakat saya dan saya menerimanya!

-> Aturan-aturan hukum demikian ini merupakan sesuatu yang PRIMER

dalam hukum!
Hart setuju “law as a command”
Tapi, pandangan Kelsen tentang “grundnorm”, terlalu sederhana.
Orang menaati hukum bukan karena hukum itu berlaku (secara hipotetis), melainkan karena orang menyesuaikan diri padanya.


Jadi, ada “the ultimate rule of recognition”. misal: pembayar pajak dan seorang korban perampokan (gunman-situation) dalam menaati perintah.
Tapi, bukankah aturan primer demikian dapat merugikan, seiring dengan makin kompleksnya masyarakat?
Akan muncul:.

Ø ketidakpastian mengenai isi hukum.

Ø statisnya hukum (sulit untuk mengubahnya karena menunggu semua orang harus setuju denganpperubahan itu) pengawasan sosial juga tidak bakal mampu dan akan terpaksa membiarkan hukum itu berkembang.

· Untuk mengatasi kerugian inilah, maka diperlukan ATURAN SEKUNDER.



JADI, hukum selalu terdiri dari:

aa. Aturan Primer (primary rules) } -> The union of primary and secondary

rules is at the centre of legal system

bb. Aturan Sekunder (secondary rules)
Aturan primer lebih ditujukan untuk masyarakat umum
Aturan sekunder lebih untuk para pengemban (fungsionaris) hukum.

Apa ATURAN PRIMER itu?
Tentang kewajiban manusia untuk berbuat/tidak berbuat (rules of obligation), yang berasal dari aturan sosial (social rules):

Ø -Secara eksternal harus berbuat agar diterima masyarakat - atau internal sudah diyakini sesuai oleh individu ybs.



Teori Sistem

Apa ATURAN SEKUNDER itu?
Aturan tentang aturan primer.
secondary rules of recognition (aturan untuk mengatasi persoalan ketidakpastian hukum) menyatakan suatu aturan sah/tidak sah.
Apa saja sumber hukum formal RI?

Ø Sumber-sumber itu ada hirarkinya, berpuncak pada “the ultimate rule of recognition”

Ø secondary rules of change (aturan untuk mengatasi statisnya hukum) aturan prosedur pembentukan hukum.

Ø secondary rules of adjudication (aturan untuk mengatasi inefisiensi dalam penegakan hukum) aturan tentang kewenangan badan-badan penegakan hukum: polisi, jaksa, hakim, dll.
The ultimate rule (of recognition) sebagai sumber hukum tertinggi.
Isinya bukan berisi “apa saja” melainkan sesuatu: “.... those the truth of which is contingent on human beings and the world they live in retaining the salient characteristics which they have.”
SESUATU adalah tentang kebenaran yang digantungkan pada umat manusia dan dunia tempat mereka hidup (dipakai untuk mempertahankan ciri-ciri yang menonjol (utama) yang mereka miliki.
JADI, kebenaran itu harus bisa diuji dengan fakta (kondisi masyarakat sekarang) truism (kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi).*
contoh 5 truism:
Manusia adalah mahluk yang dapat dilukai, terbunuh, dsb.

Ø Dibenarkan: aturan larangan membunuh.
Manusia itu sederajat.

Ø Dibenarkan: aturan larangan diskriminasi.
Manusia membutuhkan sumber-sumber penghidupan, tetapi terbatas.

Ø  Dibenarkan: aturan tentang hak milik pribadi.
Manusia memiliki kelemahan dan keterbatasan (bisa tergoda)

Ø Dibenarkan: aturan tentang perlindungan korban dan sanksi bagi pelaku.
Manusia membutuhkan sumber-sumber penghidupan, tetapi terbatas

Ø Dibenarkan: aturang tentang lingkungan hidup.

*Truism ≠ aksioma. Truism adalah kebenaran yang sudah teruji oleh fakta.
Ontologis:

Ø Hukum = norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan


Epistemologis :

Ø Doktrinal, deduktif
Aksiologis :

Ø Kepastian

Apa ukuran kepastian hukum itu?
Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara;
Instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat terhadapnya;
kebanyakan warga secara prinsipiil menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan;
Keputusan peradilan secara konkret dilaksanakan.

(Jan Michiel Otto, Kepastian Hukum di Negara Berkembang (2003).)



Positivisme Hukum = Formal Jurisprudence
Major premise: law consists of a set of unchanging principles.
Minor premise: facts can be classified in clear, consistent ways by different judges.
Conclusion: applying deductive logic to facts and law will produce a single, correct decision.

(From: Monahan & Walker (1998) )

Logika Deduktif

(Premis mayor adalah penentu)

Ø Pasal 263 KUHAP: (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Terpidana dan ahli waris berhak mengajukan PK.

Jaksa bukan terpidana dan ahli waris.

Jaksa tidak berhak mengajukan PK.



Ø Pasal 263 KUHAP: (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Semua pihak yang berkepentingan berhak mengajukan PK.

Jaksa adalah salah satu pihak yang berkepentingan.

Jaksa berhak mengajukan PK.



Kasus yang Mengkritisi Positivisme Hukum
Adolf Eichmann (1961) dituduh membunuh jutaan orang Yahudi selama pendudukan Nazi (1944).

Ø Pembelaannya: “I was just following orders”.
Putusan Mahkamah Konstitusi: membatalkan UU No. 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (pada peristiwa peledakan bom Bali 12 Oktober 2002.

Ø Putusan MK dan Ulasannya

1. Asas nonretroakatif itu mutlak dan universal, sehingga tidak mungkin

dikesampingkan. -> Suasana pemberlakuan asas ini (periode 1881) sudah

berbeda dengan sekarang. Kesalahan logika “latius hos” (menerapkan suatu premis/ prinsip lebih luas daripada yang dimaksud).

2. Sampai saat ini belum ada definisi universal tentang “terorisme”, padahal negara pun bisa melakukan kekerasan struktural. -> Ketiadaan definisi universal tidak dapat dijadikan alasan pemaaf atas suatu kejahatan. Menunggu kesepakatan demikian tidak

realistis. Analogi dengan “kekerasan negara” juga tidak relevan karena negara seperti itu jelas bukan negara yang adil.

Jenis kejahatan bom Bali itu

masih ter-cover dengan hukum yang berlaku saat itu, tidak perlu dengan UU No. 16 Tahun 2003. -> Jika kejahatan yang menewaskan 202 orang (188

WNA) masih dikategorikan sebagai kejahatan biasa (versi KUHP), lalu kejahatan seperti apa yang disebut kejahatan luar biasa (terorisme) itu? Apakah korbannya harus lebih dari 500? MK terlalu terfokus pada materia

Ø Prinsip retroaktif hanya mungkin berlaku bagi kejahatan HAM berat, yang menurut Statuta Roma 1998 mencakup genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. -> Jika Statuta Roma sebelumnya telah mencantumkan pemboman, apakah MK baru setuju ini kejahatan HAM berat? Apakah menewaskan 202 orang tidak merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan kejahatan, bukan forma (esensi kejahatan itu). Pemberlakuan retroaktif melanggar hak asasi menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 -> Mengapa hanya pasal-pasal itu yang dilihat? Bagaimana dengan Pembukaan UUD yang menyatakan negara wajib melindungi segenap bangsa, menjaga ketertiban umum, dll

(Armada Riyanto, KOMPAS, 30 Juli 2004)



REFLEKSI :

Jadi, hakikat hukum menurut aliran positivisme hukum, seperti yang telah dijelaskan oleh para ahli, John Austin, dan Hans Kelsen, hukum didasarkan pada sanksi dalam norma hukum itu sendiri. Keabsahan hukum itu didasari oleh situasi faktual (John Austin) dan juga norma dasar yang exist secara hipotesis (Hans Kelsen). Sedangkan menurut tokoh lain yaitu H.L.A Hart, Hukum itu ada 2 sumber yaitu : aturan primer dan sekunder.

0 comments:

Posting Komentar